Inovasi
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) atau Internet telah
menyebabkan terjadinya perubahan revolusioner dalam kehidupan manusia.
Peningkatan penggunaan TIK menjadikan medium ini tidak hanya sekadar
media komunikasi, interaksi, dan informasi, namun juga medium untuk
mengembangkan karakter bangsa. Tulisan ini hendak membahas sejauh mana
internet berperan dalam perubahan sosial atau—dalam hal ini—pembangunan
karakter bangsa.
TIK telah mengubah sistem komunikasi, cara kita berkomunikasi serta
mempengaruhi kehidupan manusia dan masyarakat baik secara individu,
organisasi, maupun kehidupan sosial. TIK juga mampu meningkatkan
kemampuan indera manusia (extends human senses) (McLuhan, 1964) sehingga menjadikan individu mampu menembus ruang dan waktu dan menyajikan ‘a window to the world’
(Roger, 1986). TIK memungkinkan informasi, gagasan, dan pengetahuan
mengalir bebas melalui masyarakat informasi, di mana batas yang masih
tersisa antarmanusia adalah batas geografi (Lin & Atkin, 2007).
Inilah yang kemudian membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat
informasi (information society).
Dari sejarah dan penggunaan teknologi, para ahli mengakui bahwa TIK
dan media komunikasi adalah aktivator utama yang mempengaruhi perubahan
sosial. Pasley (dalam Roger, 1986) menyimpulkan bahwa perubahan
teknologi telah menempatkan komunikasi sebagai garda depan perubahan
sosial. Ini selaras dengan pandangan Harold Adam Innis (dalam Smith,
1998) bahwa perubahan besar dalam teknologi komunikasi berakibat pada
perubahan sosial dan bahwa kunci perubahan sosial ditemukan dalam
perkembangan media komunikasi (Soules, 2007).
Meski demikian ada perbedaan pandangan antara mereka yang meyakini
bahwa TIK mampu membuat karakter bangsa menjadi lebih baik atau pun
sebaliknya. Kita bisa membedakannya ke dalam tiga perspektif: (1) cyber-optimist atau cyber-utopians, (2) cyber-pessimist atau anti-utopians, dan (3) cyber-skeptics.
Pandangan cyber-utopians mendasarkan diri pada konsep technological determinism yang menyatakan bahwa “technology
is the big mover and shaker behind major social transformation at the
level of institution, social interaction, and individual cognition”
(Chandler, 1995). Potensi atau dampak positif TIK antara lain (1)
peluang membangun interaksi tanpa keterbatasan ruang dan waktu, (2)
kreativitas, produktivitas, partisipasi, kolaborasi antarwarga (crowds and citizens),
(3) partisipasi publik dalam mengolah isu-isu politik dan kerja-kerja
sosial dan pemberdayaan, menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, serta
(4) membangun masyarakat yang cerdas, kreatif, dan humanis.
Kalangan anti-utopians atau techno-realists lebih menekankan
pada efek negatif TIK. Terkait dengan karakter bangsa, potensi atau
dampak negatif yang ditimbulkan oleh TIK antara lain munculnya sikap
individualisme, mentalitas jalan pintas, ceriwis-isme dan narsisme,
konsumerisme, hingga berkembangnya sikap reaktif dan emosional banyak
individu atau masyarakat. TIK bahkan menjadi ladang subur tumbuhnya
kriminalitas, plagiarisme, cyberbullying, cyber-terrorism, pembajakan, peretasan, segregasi hingga balkanisasi.
Sementara kalangan cyber-skeptics berpendapat bahwa TIK
tidak memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat. Mereka
beranggapan bahwa ‘teknologi tidak pernah bersifat tetap dan akan
beradaptasi untuk menggantikan model dan sistem yang eksis (Castell,
2004). Menurut kaum cyber-skeptics, TIK tidak memiliki dampak dramatis
terhadap realitas ‘business or politics as usual.’
Peran Negara dan Masyarakat
Bagaimana mengelola dampak TIK agar tidak membahayakan budaya masyarakat dan karakter bangsa? Pertama,
penguasaan TIK harus menjadi kompetensi utama dalam pelayanan publik,
pendidikan, dan program-program pengentasan kemiskinan. Untuk itu, perlu
adanya fokus pada investasi infrastruktur fisik dan perangkat keras,
didukung dengan adanya kebijakan, institusi, infrastruktur dan skill.
Kedua, perlu adanya strategi nasional yang eksplisit dan
sistematis bagaimana mengintegrasikan TIK dalam seluruh visi dan
strategi pembangunan sehingga mampu merealisasikan manfaat TIK terutama
untuk meningkatkan produktivitas. Dalam hal ini pemerintah punya peran
krusial untuk membangun sistem yang tepat, terpadu, dan konsisten, serta
memberi contoh dan mendorong—tidak hanya sekadar menghukum. Strategi
yang dilakukan antara lain melalui peningkatan pendidikan melek media,
peningkatan indikator ekonomi (GNP, GDP, dan lain-lain) serta
pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan media. Di sisi lain
masyarakat harus mampu membangun dan memperkuat sikap, mentalitas, dan
spiritualitas masyarakat atau pengguna TIK. Sebab, apa yang terjadi dan
berlangsung di dunia maya, merupakan gambaran atau refleksi dari dunia
nyata.
Ketiga, pendidikan literasi media. Selama ini orang ‘bisa’
menggunakan TIK karena belajar sendiri atau dari referensi pertemanan.
Jarang ada pelatihan atau pendidikan tentang penggunaan TIK yang baik
dan benar. Di sini perlu adanya sinergi atau menjadi agenda bersama dari
pemerintah, masyarakat, keluarga.
Pendidikan literasi media muaranya adalah bagaimana meningkatkan
produktivitas dan kreativitas untuk meningkatkan konten lokal. Ada
beberapa langkah yang bisa dilakukan: (1) meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk mengakses informasi dan ilmu pengetahuan serta
kemampuan mengakses, memproses, mengadaptasi, dan mengelola informasi;
(2) meningkatkan dan mengurangi biaya produksi dan transaksi ekonomi;
(3) membangun interaksi/koneksi antarorang, NGO, dunia usaha dan
komunitas melalui peningkatan empowerment, partisipasi, koordinasi, desentralisasi, pembelajaran sosial, menghubungkan communities of practice,
mobilisasi modal sosial, dan mendorong masyarakat sipil untuk memiliki
konsern terhadap isu-isu global; (4) adanya sinergi antara pemerintah,
masyarakat sipil, dunia pendidikan. Saat ini, masyarakat dan korporasi
sudah bergerak, namun pemerintah belum kelihatan gerak-geriknya.
Persoalannya, hingga kini kita masih dihadapkan pada persoalan akses
dan infrastruktur. Prioritas utama yang harus diwujudkan adalah
bagaimana mewujudkan akses Internet yang cepat dan murah untuk rakyat.
Bagaimana internet menjadi fasilitas warga negara, seperti halnya
listrik, yang tersedia di setiap tempat dan rumah. Isu akses ini juga
terkait dengan digital divide, yakni sejauh mana masyarakat melihat TIK: sebagai necessity good atau luxury goods? Untuk urusan akses, kita masih tertinggal dengan negeri jiran seperti Malaysia, Singapura, atau Thailand.
Infrastruktur teknologi, kapasitas dan ilmu pengetahuan adalah
prasyarat bagi manusia menggunakan teknologi sekaligus sebagai basis
untuk digitalisasi informasi dan mekanisme komunikasi dalam berbagai
sektor masyarakat. Dari situ, penyebaran informasi dan proses
komunikasi dalam sektor-sektor tersebut dilaksanakan dalam jaringan
elektronik: e-government, e-business and e-commerce, e-health, e-learning, dan lain-lain.
Berikutnya adalah isu kekosongan aturan dalam hal digitalisasi konten
dan media. Isu lain yang tak kalah penting adalah bagaimana mencari,
mengumpulkan dan mengelola best practices dalam penggunaan TIK dan sehingga pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
TIK untuk Pembangunan ditujukan untuk mempromosikan tujuan-tujuan
yang diinginkan dalam proses transformasi sosial. Caranya adalah dengan
mengurangi efek negatif TIK dan menghilangkan bottlenecks. Ada dua jenis intervensi atau pendekatan yang bisa diimplementasikan. Pertama, positive feedback antara lain melalui insentif, proyek, pembiayaan, subsidi dan lain-lain yang menekankan pada peluang yang ada. Kedua, negative feedback terutama melalui regulasi dan legislasti yang membatasi dan melemahkan kecenderungan atau perkembangan yang bersifat negatif.
Strategi Nasional TIK
Desain strategi nasional dalam bidang TIK perlu betul-betul mendapat perhatian. Filipina punya The Philippines Digital Strategy. Jepang juga punya Japan’s National IT Strategy and Ubiquituos Network yang dilaunching tahun 2005.
Kenapa industri TIK di Korea bisa maju? Karena di sana terdapat Korea IT 839 Strategy yang dilaunching tahun 2004 dan diupdate tahun 2006. Tujuan dari Korea IT 839 Strategy
adalah mewujudkan masyarakat informasi Korea. Salah satu outputnya
adalah TIK di Korea berkontribusi sebesar $20.000 GDP per capita. Korea
meyakini bahwa TIK menjadi industri kunci yang berperan pada ekonomi
Korea. Industri TIK menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Korea sejak
1990-an, memainkan peran penting dalam proses revitalisasi ekonomi serta
berkontribusi pada pertumbuhan GDP di Korea.
Indonesia baru punya Buku Putih Komunikasi dan Informasi Indonesia (Indonesian ICT White Paper)
yang dikeluarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi tahun 2012.
Harapannya, meski terlambat, kita telah menetapkan strategi dan
langkah-langkah yang tepat dan pasti sebagai acuan pengembangan TIK
untuk menyejahterakan manusia Indonesia serta membangun karakter bangsa. Semoga bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar